Di zaman serba digital seperti sekarang ini, apa yang tidak bisa kita
lakukan, dapat dengan mudah dikerjakan. Awal pekan lalu misalnya. Lama
tak jumpa teman-teman sekampus karena tak sempat silaturahim saat
Lebaran, sapaan via telepon pun terpaksa dilakukan.
Di zaman serba digital seperti sekarang ini, apa yang tidak bisa kita
lakukan, dapat dengan mudah dikerjakan. Awal pekan lalu misalnya. Lama
tak jumpa teman-teman sekampus karena tak sempat silaturahim saat
Lebaran, sapaan via telepon pun terpaksa dilakukan.
Seorang teman,
sebut saja namanya Anton. Sepengetahuan saya, ia tergolong berhasil
dari sisi karir. Namun dalam telepon, ia pun mengeluh kalau keluarganya
kurang bahagia, karena belum punya momongan hingga sekarang.
Penyebabnya, si istri sakit sejak ia nikahi.
’’Istriku kena kanker
kista Mas. Aku tak tega menggaulinya, kasihan dia. Kalau sedikit stres
ia pingsan, aku jadi tak tega,’’ ucapnya. ’’Gimana kabar Wahid (ini
bukan nama sebenarnya), enak ya. Dia sudah jadi bos, aku kemarin ketemu,
ia sudah bawa mobil baru hadiah kantornya,’’ sambung Anton.
Saya
pun menjawab kalau sebentar lagi juga akan meneleponnya. Setelah bicara
yang lain-lain, telepon pun ditutup. Sesuai janji, nomor Wahid pun saya
pencet.
Begitu sambung, pembicaraan pun mengalir. Namun dari
sekian pembicaraan, ada juga yang menarik perhatian. ’’Antum enak ya
sekarang. Waduh iklim usaha sekarang bikin pusing. Tahu nggak, utangku
di bank berapa? Dua miliar Bung! Itu belum kartu kredit yang tiap jam
telepon karena ana telat bayar minimum,’’ ceritanya di ujung sana.
’’Kabare Rahmat (ini juga bukan nama asli, tapi pinjaman aja) piye? Enak
ya ia sekarang tenang. Ngurus ngaji anak-anak kampung,’’ sambung Wahid.
Dialog
pun berlanjut. Setelah selesai, saya pun telepon Rahmat. Ia adalah guru
ngaji di kampung. Sejak selesai kuliah, ia diambil menantu tokoh
masyarakat di Lumajang. Dari cerita ke cerita, ada pula ungkapan yang
menarik dari teman satu angkatan yang sama-sama aktif di senat dulu.
’’Hidup
di kampung susah. Sulit berkembang. Pas puasa aku ketemu Anton, enak ya
sekarang. Ia jadi manajer di Surabaya. Pas mampir ke rumahnya, kayaknya
keluarganya tenang gitu. Barokah rejekinya,’’ papar Rahmat.
Sama
dengan Anton dan Wahid, saya pun ngobrol ngalor-ngidul dengan Rahmat.
Dari ketiganya, ada kesimpulan, ternyata filsafat Jawa yang mengatakan
bahwa urip kuwi sawang sinawang (hidup itu saling memandang), benarnya
100 persen. Kita ini selalu enak jika dipandang orang lain. Tapi aslinya
kita sendiri yang tahu.
***
Dalam menjalani hidup, hal yang paling susah adalah belajar bersyukur dalam segala situasi. Baik saat senang maupun susah.
Warning
dan janji Alquran soal syukur sebenarnya banyak disebut. Misalnya,
Waidz taadz-na rabbukum lain syakartum la-azidannakum, walain kafartum
inna ‘adzabi la syadiid. Allah berjanji benar bahwa jika kita bersyukur,
pasti Ia akan menambah (nikmat) itu. Sebaliknya jika mengingkari
nikmat, Azab Allah juga sangat pedih. (QS: Ibrahim: 7).
Namun,
meski ada warning dan janji seperti itu, bersyukur itu sulitnya minta
ampun. Memang, saat hidup berjalan mudah dan sesuai harapan kita,
bersyukur tidaklah sulit.
Kita mudah sekali mengucap syukur atas
rejeki yang datang. Tapi saat sulit, bersyukur rasanya sulit sekali.
Mengucap Alhamdulilah pun berat. Kadang kita pun malah sering mengumpat
dan lupa pada kalimat syukur.
Kadang, yang lebih halus lagi, (ini
biasanya dialami para santri), saat kondisi susah, memang susah
bersyukur, tapi merajinkan ibadah. Doa-doa makin khusyuk. Itu beda
sekali kalau kondisi lagi senang, doa pun sulit untuk khusyuk.
Kemudian,
saya pun berkesimpulan bahwa bersyukur di kala senang sangatlah mudah.
Namun bersyukur saat duka butuh latihan dan disiplin tinggi. Kita tak
hanya perlu pandai bersyukur, tapi juga lihai bersyukur. (Dalam posisi
ini pada musowwif – ahli sufi – sering berdoa agar selalu dibuat susah
agar bisa bersyukur dan beribadah secara khusyuk).
Begitu beratnya
bersyukur ini, sampai-sampai Allah pun melibatkan setan untuk menggoda
hamba-hamba-Nya yang tidak bisa bersyukur. Seperti yang termaktub dalam
Alquran Surat Shaad 82-83.
Memang, dalam hidup ini, kalau kita
berdoa, setidaknya ada lima permintaan pada Allah. Yakni, minta
dikabulkan doa kita, minta rejeki luas, minta diampuni dosa kita, minta
dijauhkan dari siksa neraka, dan minta bisa selalu bersyukur. Dari lima
itu, empat belum mesti dikabulkan Allah, tapi hanya satu, yakni syukur
yang mesti dikabulkan Allah. (Untuk tema ini kapan-kapan akan saya
tulis).
Itulah syukur. Apalagi dengan syukur itu, Allah akan
menambah nikmat pada kita semua. Karena selalu dikabulkan Allah itu,
makanya melaksanakannya sangat sulit sekali. (Ini serius sekali...
benar-benar serius).
Meski begitu, ada syukur yang bikin marah
istri. Yakni kalau seorang suami mensyukuri punya seorang istri yang
pencemburu. Karena kalau tahu si suami bersyukur, sang istri khawatir
kalau suaminya akan ditambah nikmatnya oleh Allah dengan ditambahi istri
lagi. Walhasil, istri pertama pun bisa dapat madu baru. (Yang ini tidak
serius, swear bukan serius). (war*)
0 komentar:
Posting Komentar